Powered By Blogger

Sabtu, 21 Maret 2015

proyek pribadi hari ini


Proyek pribadi hari ini
MENJADI PRIBADI YANG LEBIH DI PERHATIKAN
Hari ini aku akan melepaskan kekawatiran tentng diriku sendiri agar perhatian ku lebih terarah kepada orang dan pekerjaanyang lebih menjanjikan kebaikan. Ya Allah semoga Engkau merestui upaya ku untuk berlaku lebih penyanyang kepada keluarga dan sesama agaraku lebih pantas menerima mereka . sayangi aku, jadikan aku kesayangan keluarga dan sesamaku dan baikkan lah hidup ku ....Amin.....

UN, Sebuah Ujian Nasib



UN, SEBUAH UJIAN NASIB

Oleh : Susilawati

Menandai semangat perubahan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengubah sistem ujian nasional (UN ) dalam tiga fungsi mendasar.
Pertama, ujian nasional tidak akan menjadi penentu kelulusan seorang siswa. Sekolah yang berhak menentukan kelulusan dengan mempertimbangkan tidak hanya beberapa mata pelajaran, tapi juga seluruh aspek, termasuk perilaku siswa. Dengan kata lain, UN  hanya akan menjadi satu dari beberapa indikator kelulusan.
Kedua, mantan rektor Universitas Paramadina tersebut memutuskan siswa dapat menempuh UN beberapa kali. Jika hasil ujian pertama belum mencapai standar, siswa akan diberi kesempatan mengikuti ujian ulang.
Niatnya baik, agar siswa bisa belajar kembali untuk memperbaiki pencapaiannya di ujian berikutnya. Namun, siswa yang tidak lulus ujian nasional tahun ini, ujian ulang akan dilakukan pada awal 2016.
Ketiga, setiap siswa wajib mengambil UN minimal satu kali. Mulai tahun depan, pelaksanaan UN akan dipercepat pada awal semester sehingga siswa punya waktu untuk opsi perbaikan.
Lagi-lagi, niatnya digembar-gemborkan untuk mengubah UN dari tolok ukur kelulusan menjadi tolok ukur pemerataan pendidikan. Hal itu dijamin oleh Anies dengan wacana meningkatkan kualitas soal dengan menambah soal-soal yang kontekstual dan disertai dengan survei.
Mungkin, seluruh warga negara Indonesia, terutama para kepala sekolah, guru, siswa, hingga orang tua sudah kebas alias mati rasa melihat segala perubahan yang selalu terjadi di sektor pendidikan. Seiring perubahan pemerintahan, selalu bisa dipastikan mereka semua berancang-ancang mempersiapkan segala sesuatunya secara apa adanya.
Sedikit flashback tentang varian istilah ujian akhir bagi para siswa se-Indonesia. Dimulai dengan Ujian Negara medio 1965 hingga 1971. Setelah itu, ujian negara tidak lagi dilaksanakan dan hanya diserahkan pada pihak sekolah masing-masing.
Kemudian, pada 1980-2000 dilaksanakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) yang dinilai berdasarkan penilaian hasil belajar dari dua semester. Ebtanas dijadikan sebagai cara untuk mengevaluasi, mengendalikan serta meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Indonesia.
Lalu, kembali mengalami perubahan sistem dan perubahan nama menjadi Ujian Akhir Nasional (Unas) pada 2001-2004. Masih dengan nama yang sama, terdapat perubahan dalam sistemnya dengan target nilai kelulusan minimal. Sejak 2010, istilah Ujian Nasional digunakan hingga sekarang dengan perubahan nilai kelulusan tiap tahunnya. 
Berdasarkan Permendikbud Nomor 3/2013 Bab I pasal 1 Ayat 5, UN merupakan kegiatan pengukuran dan penilaian pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Inti UN adalah untuk melihat kondisi mutu pendidikan di Indonesia dan diharapkan terjadi pemerataan kualitas yang sama di seluruh daerah di Indonesia.
Sayangnya, rangka dasar sistem pendidikan yang masih rapuh justru membuat semua pihak yang terlibat, khususnya guru dan para siswa, seakan frustasi. Kemudian bermunculan berbagai kasus joki UN, bocoran jawaban soal, hingga gantung diri siswa yang tak lulus UN gegara jauh dari target nilai.
Betapa menyakitkan melihat dampak mengerikan dari UN bagi nasib para generasi penerus bangsa ini. Target kuantitatif sangat menjerat siswa dan guru di daerah-daerah tertinggal dalam lingkaran setan soal-soal UN.
Jika mau mengerjakan dengan apa adanya, target tak teraih. Pun, memilih mencari bocoran dan membagikan jawaban ke para murid, sungguh mengkhianati fungsi sosial pendidikan.
Menilik esensi UN versi Anies, target kuantitatif sejatinya masih dipegang erat dengan adanya ujian ulang. Beda dengan yang saya alami di masa penerapan Ebtanas, misalnya. Siswa hanya dituntut belajar kisi-kisi soal. Tak ada tuntutan untuk mencapai nilai minimum dan bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya sesuai dengan kemampuan saat mengerjakan soal.
Artinya, jika ingin masuk sekolah berlabel favorit, tentunya siswa yang harus menggenjot belajarnya demi meraih impiannya. Bukan merasa dikejar mimpi buruk harus meraih sesuatu di luar kemampuannya.
Mari melihat raihan UN dari beberapa tahun lalu. Pada tahun ajaran 2004-2005 persentase nilai kelulusan siswa tercatat sebesar 83,31 persen dengan standar nilai lulus 4,25. Pada 2005-2006 persentase nilai kelulusan siswa tercatat sebesar 92,5 persen dengan standar nilai lulus 4,25.
Kemudian tahun ajaran 2006-2007 mempunyai persentase nilai kelulusan sebesar 93,00 persen dengan standar nilai lulus 5,00. Selanjutnya pada 2007-2008 dengan persentase nilai kelulusan 91,32 persen dengan standar nilai lulus 5,25.
Lalu, medio 2008-2009 presentase nilai kelulusan sebesar 93,74 persen dengan standar nilai lulus sebesar 5,50. Pada tahun ajaran 2009-2010 persentase nilai kelulusan sebesar 89,88 persen (99,04 persen) dengan standar nilai lulus 5,50.
Sedangkan tahun ajaran 2010-2011 persentase nilai kelulusan 99,02 persen dengan standar nilai lulus 5,50. Pada 2011-2012 persentase nilai kelulusan 99,5 persen dengan standar nilai kelulusan 5,50. Kemudian pada 2012-2013 persentase nilai kelulusan 99,48 persen dengan standar nilai kelulusan 5,50.
Terlihat selalu meningkat dari sisi kuantitas. Namun, mengapa banyak desakan masyarakat yang meminta UN untuk dihapuskan? Karena riilnya, banyak pihak yang ngos-ngosan bahkan berdarah-darah untuk mencapainya dengan segala cara, baik yang halal maupun curang.
Alat mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai UUD 1945 adalah jalur pendidikan. Nyatanya, kecerdasan hanya tersimpan dalam otak anak-anak generasi saat ini. Karakter dan kompetensi mereka kurang terbentuk optimal.
Hal itu terlihat dari kemunculan generasi kurang tangguh di tengah persaingan global. Banyak sarjana menganggur, belum menyadari apa keinginan dan minat mereka, karena selama ini disadari atau tidak mereka telah dijadikan robot sistem pendidikan Indonesia.
Bila boleh membandingkan, Amerika Serikat punya kultur budaya yang bisa ditiru. Masyarakatnya meyakini bahwa pendidikan menjadi tugas bagi keluarga dan masyarakat. Maka, mereka tidak mau kalau pendidikan diatur oleh pemerintah pusat, pemerintah negara bagian, maupun pemerintah lokal sekalipun.
Masyarakat merasa memiliki hak yang sangat kuat untuk menentukan sistem pendidikan seperti apa yang paling tepat. Lantaran menyadari tantangan di setiap komunitas tidaklah sama, sehingga sistem pendidikan tidak perlu disamakan antara satu kota dengan kota lain.
Intervensi pemerintah pusat dilakukan pada 2001 melalui kebijakan No Child Left Behind atau tak membiarkan satupun anak tertinggal. Kebijakan ini terkait dengan mutu atau kualitas anak didik.
Riilnya, diciptakan standar-standar mutu hasil didik dan pelaksanaan ujian sekolah. Pemerintah pusat memerintahkan pemerintah negara bagian untuk membuat standar pendidikan, membuat kurikulum, membuat soal UN dan menyelenggarakannya.
Intervensi pemerintah pusat dilakukan jika didapati kualitas pendidikan anak-anak SMA sangat menurun hingga tidak meneruskan sekolah. Sebelum masuk perguruan tinggi atau bekerja mereka juga dites, dan hanya 50 persen dari yang ikut tes lulus masuk perguruan tinggi atau bekerja.
Karena AS menyadari akibatnya. Yakni, akan banyak pengangguran atau bekerja di tempat yang dibayar murah. Sehingga angka kemiskinan makin meningkat dan pendapatan negara semakin berkurang.
Tumpuan nasib bangsa Indonesia memang di UN. Sistem yang ‘galau’ penuh ketidakpastian tadi niscaya meluluskan generasi serupa sistem tadi. Tentunya, sang sokoguru pendidikan Ki Hajar Dewantara tidak rela melihat hasil perjuangannya diberantakkan oleh eksperimen nasib dalam UN. Semoga

AlamaT : SMA N 1 Tugu

Rabu, 04 Februari 2015

apakah pentingnya Ujian Nasional



APA PENTINGNYA UJIAN NASIONAL
Oleh  : Susilawati
Ujian memang menjadi sebuah keniscayaan dalam  pendidikan apapun. Jika kita belajar di sekolah untuk naik kelas, kita harus melewati serangkaian ujian. Ujian (ulangan) rutin per materikah, ujian tengah semesterkah, ujian akhir semesterkah, dengan hasil ujian (ulangan) itu dicantumkan dalam nilai tertentu yang diakhir semester dalam bentuk raport. Prestasi belajar siswa secara periodik dapat terpantau, apakah pembelajaran yang dilakukan didalam kelas melalui kinerja seorang guru memiliki daya serap yang baik atau tidak dimata anak didik.
Kita tentu boleh bertanya, bahwa semua proses belajar mengajar yang dilakukan dalam kelas, dimana terjadi interaksi yang intensif secara tatap muka antara guru dengan murid, apakah pada akhirnya harus ditentukan eksekusi akhirnya melalui sebuah ujian nasional? Bukankah perjalanan selama 3 tahun dan 6 semester itu juga telah melewati berbagai rangkaian ujian? yang prestasi belajar siswa dapat terlihat dengan jelas sejauhmana perkembangan dan peningkatannya.
Ada banyak kasus, seorang siswa yang sebenarnya dalam keikutsertaannya dalam proses belajar keseharian memiliki tingkat kepintaran yang lebih, daya tangkap yang bagus, selalu mendapatkan nilai unggul dan ranking kelas yang baik. Tapi pada saat mengikuti ujian nasional, dia dinyatakan tidak lulus. Sementara siswa yang boleh dibilang dalam pembelajaran sehari biasa-biasa saja, nilai yang cenderung kurang dan raport merah terus, bahkan naik kelasnya pun terpaksa dan dipaksakan, akan tetapi saat ujian nasional dia lulus.
Format dan sistem ujian nasional, memang sebuah konsep yang bagus dan ideal, namun dalam kenyataannya, hasil UN siswa sangat ditentukan juga oleh bagaimana sang guru mampu secara tuntas menumpahkan materi pembelajaran sehingga benar-benar dikuasai dan dipahami anak didik. Adonan peserta didik di tiap daerah seluruh Indonesia tentu takkan mungkin sama, antara siswa Jakarta dan siswa di daerah papua tentu berbeda, namun dalam hal penentuan soal ujian disamakan secara nasional. Jika seorang anak tidak lulus UN, maka pihak guru dan sekolah juga harus ikut bertanggungjawab. Bukankah proses pembelajaran itu dilakukan dalam tiga tahun? dengan berbagai format ujian yang dilakukan oleh sekolah.
Saat ini, dalam memori siswa, UN seolah menjadi momok yang sangat menakutkan. hasil UN itu akan merontokan secara serta merta perjuangan peserta didik selama mengikuti proses pembelajaran di kelas, jika kenyataan pada akhirnya dalam UN dia tidak lulus. Sementara resiko tidak lulus UN akan merontokkan motivasinya untuk dapat masuk di perguruan tinggi, secara mental dan psikologis dia akan jatuh. Sementara pada sisi yang lain, kesempatan yang diberikan oleh pemerintah paling hanya meneruskan melalui program paket C.
Selain itu, pelaksanaan UN juga disinyalir masih diwarnai praktik-praktik tidak terpuji. Guna meluluskan 100 persen anak didiknya, tak sedikit guru atau pihak sekolah membagikan kunci jawaban, saling contek, hingga melakukan pembiaran-pembiaran terjadinya kecurangan.
Perlu pembenahan lebih lanjut di tingkat para pemegang kebijakan urusan pendidikan. Peningkatan kualitas guru, ketersediaan buku-buku penunjang belajar peserta didik, metode pembelajaran, hingga amatan akan suasana mental dan psikologis siswa. Banyak sekolah dan guru-guru yang ikut stress memikirkan UN ini, jika sebuah sekolah ada yang tidak lulus, maka rontoklah image sekolah tersebut. Jika ada sekolah yang siswanya lulus semua, kadang orang juga bertanya-tanya, jangan-jangan ada permaianan di dalamnya.
Saya tak bermaksud menghakimi, cuman pemberitaan media beberapa waktu lalu pernah mengangkat berbagai kejadian yang memilukan, misalnya ketika seorang anak SD yang dalam UN tak mau berbagi contekan ke teman-temannya, dan mengakui secara jujur akan apa yang dilakukan oleh gurunya, si anak dan orang tuanya yang malah disalahkan, didemo, dan diintimidasi, hingga sang anak dan orang tuanya harus pindah tempat tinggal. Kejujuran menjadi sesuatu yang teramat mahal dalam praktek dan upaya pencaaian target kelulusannya.
Tapi memang UN itu menjadi satu dari sekian cara yang dilakukan pemerintah demi ikhtiarnya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, namun tekad ke arah sana memang perlu dibarengi dengan semangat kejujuran dan peningkatan profesionalitas sang guru juga. Sehingga ketika semua siswa lulus UN, maka kita harus dengan bangganya mengatakan, karena memang guru-guru di sekolah itu sangat berkualitas dan profesional dalam mendidik dan mengajar peserta didik dan ajarnya tersebut.
Dari sinilah kita harus berangkat, bahwa UN memang penting, tapi menjalankan UN dengan jujur juga sangatlah penting, memaksimalkan kelulusan memang penting, tapi menyelesaikan secara tuntas proses pembelajaran dengan kondisi guru-guru yang berkualitas juga penting.

Alamat penulis        : SMA Negeri 1 Tugu
E mail                      : susisusilawati38@rocketmail.com

Jumat, 29 Agustus 2014

artikel belajar



KENAPA KITA HARUS SEKOLAH
0leh         : Susilawati
Kebanyakan orang bilang kita memang harus sekolah bahkan sekolah sampai perguruan tinggi, alasannya beragam agar mudah dapat kerja sampai karena prestise (malu dong hari gini ko ga sekolah). Tapi apa benar untuk masyarakat yang multicultural seperti Indonesia kesadaran masyarakatnya telah benar-benar sadar kalau sekolah itu penting?
Kenyataannya masih banyak di Indonesia anak yang tidak sekolah. Padahal Sekolah adalah tempat pertama kalinya seorang anak belajar bersosialisasi secara formal, dan belajar untuk berkomunikasi dengan lingkungan yang baru.
Di Indonesia kemauan atau kesadaraan orang tua untuk menyekolahkan anak masih terhitung kurang, karena mereka lebih suka memperkerjakan anak mereka untuk menghidupi kebutuhan keluarga yang seharusnya menjadi kewajiban mereka.
Seperti yang di kutip dari wikipedia.com pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan — khususnya di Indonesia — yaitu:
Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.

Berikut ini adalah beberapa alasan kenapa kita harus sekolah:
1. Tidak bisa dipungkiri diera masa kini pendidikan formal yang biasanya ditempuh di sekolah, sekolah yang saya maksud adalah sekolah pada umumnya karena tidak dipungkiri ada orang tua tertentu yang menyekolahkan anaknya di rumah istilahnya adalah “home schooling”. Sekolah mengajarkan kita dunia baru yang mengajarkan kita bersosialisasi dengan orang lain yang tentunya baru dan asing. Untuk itu hari pertama di sekolah biasanya diramaikan dengan tangisan anak baru.
2. Sekolah mendidik kita untuk menggali ilmu pengetahuan agar setiap manusia dapat mencapai tujuan dalam hidupnya atau lebih tepat apa yang didambakan dan dicita-citakan dari kecil atau juga setidaknya menjadi manusia seperti manusia kebanyakan yang bersekolah.
3. Sekolah merupakan tempat yang memberikan peluang manusia menjadi lebih berguna bagi bangsa dan negara atau setidaknya berguna bagi keluarga karena semakin tinggi seorang manusia bersekolah tentunya peluang mendapat pekerjaan yang lebih baik.
4. Sekolah juga mendidik manusia untuk memanusiakan orang lain, mengajarkan manusia untuk mengerti dan mencintai orang lain selain dirinya sendiri karena di sekolah tentunya kita akan bertemu dengan manusia dengan sikap dan sifat yang beragam.
Jadi, meskipun biaya sekolah mahal kita tetap harus memperjuangkan setiap anak di Indonesia untuk bersekolah.