UN, SEBUAH UJIAN NASIB

Oleh : Susilawati
Menandai semangat perubahan dalam
pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengubah sistem ujian nasional (UN )
dalam tiga fungsi mendasar.
Pertama, ujian nasional tidak akan
menjadi penentu kelulusan seorang siswa. Sekolah yang berhak menentukan
kelulusan dengan mempertimbangkan tidak hanya beberapa mata pelajaran, tapi
juga seluruh aspek, termasuk perilaku siswa. Dengan kata lain, UN hanya
akan menjadi satu dari beberapa indikator kelulusan.
Kedua, mantan rektor Universitas
Paramadina tersebut memutuskan siswa dapat menempuh UN beberapa kali. Jika
hasil ujian pertama belum mencapai standar, siswa akan diberi kesempatan
mengikuti ujian ulang.
Niatnya baik, agar siswa bisa
belajar kembali untuk memperbaiki pencapaiannya di ujian berikutnya. Namun,
siswa yang tidak lulus ujian nasional tahun ini, ujian ulang akan dilakukan
pada awal 2016.
Ketiga, setiap siswa wajib mengambil
UN minimal satu kali. Mulai tahun depan, pelaksanaan UN akan dipercepat pada
awal semester sehingga siswa punya waktu untuk opsi perbaikan.
Lagi-lagi, niatnya
digembar-gemborkan untuk mengubah UN dari tolok ukur kelulusan menjadi tolok
ukur pemerataan pendidikan. Hal itu dijamin oleh Anies dengan wacana
meningkatkan kualitas soal dengan menambah soal-soal yang kontekstual dan
disertai dengan survei.
Mungkin, seluruh warga negara
Indonesia, terutama para kepala sekolah, guru, siswa, hingga orang tua sudah
kebas alias mati rasa melihat segala perubahan yang selalu terjadi di sektor
pendidikan. Seiring perubahan pemerintahan, selalu bisa dipastikan mereka semua
berancang-ancang mempersiapkan segala sesuatunya secara apa adanya.
Sedikit flashback tentang
varian istilah ujian akhir bagi para siswa se-Indonesia. Dimulai dengan Ujian
Negara medio 1965 hingga 1971. Setelah itu, ujian negara tidak lagi
dilaksanakan dan hanya diserahkan pada pihak sekolah masing-masing.
Kemudian, pada 1980-2000
dilaksanakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) yang dinilai
berdasarkan penilaian hasil belajar dari dua semester. Ebtanas dijadikan
sebagai cara untuk mengevaluasi, mengendalikan serta meningkatkan mutu
pendidikan di seluruh Indonesia.
Lalu, kembali mengalami perubahan
sistem dan perubahan nama menjadi Ujian Akhir Nasional (Unas) pada 2001-2004.
Masih dengan nama yang sama, terdapat perubahan dalam sistemnya dengan target
nilai kelulusan minimal. Sejak 2010, istilah Ujian Nasional digunakan
hingga sekarang dengan perubahan nilai kelulusan tiap tahunnya.
Berdasarkan Permendikbud Nomor
3/2013 Bab I pasal 1 Ayat 5, UN merupakan kegiatan pengukuran dan penilaian
pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu
dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Inti UN adalah untuk melihat kondisi
mutu pendidikan di Indonesia dan diharapkan terjadi pemerataan kualitas yang
sama di seluruh daerah di Indonesia.
Sayangnya, rangka dasar sistem
pendidikan yang masih rapuh justru membuat semua pihak yang terlibat, khususnya
guru dan para siswa, seakan frustasi. Kemudian bermunculan berbagai kasus joki
UN, bocoran jawaban soal, hingga gantung diri siswa yang tak lulus UN gegara
jauh dari target nilai.
Betapa menyakitkan melihat dampak
mengerikan dari UN bagi nasib para generasi penerus bangsa ini. Target
kuantitatif sangat menjerat siswa dan guru di daerah-daerah tertinggal dalam
lingkaran setan soal-soal UN.
Jika mau mengerjakan dengan apa
adanya, target tak teraih. Pun, memilih mencari bocoran dan membagikan jawaban
ke para murid, sungguh mengkhianati fungsi sosial pendidikan.
Menilik esensi UN versi Anies,
target kuantitatif sejatinya masih dipegang erat dengan adanya ujian ulang.
Beda dengan yang saya alami di masa penerapan Ebtanas, misalnya. Siswa hanya
dituntut belajar kisi-kisi soal. Tak ada tuntutan untuk mencapai nilai minimum
dan bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya sesuai dengan kemampuan
saat mengerjakan soal.
Artinya, jika ingin masuk sekolah
berlabel favorit, tentunya siswa yang harus menggenjot belajarnya demi meraih
impiannya. Bukan merasa dikejar mimpi buruk harus meraih sesuatu di luar
kemampuannya.
Mari melihat raihan UN dari beberapa
tahun lalu. Pada tahun ajaran 2004-2005 persentase nilai kelulusan siswa
tercatat sebesar 83,31 persen dengan standar nilai lulus 4,25. Pada 2005-2006
persentase nilai kelulusan siswa tercatat sebesar 92,5 persen dengan standar
nilai lulus 4,25.
Kemudian tahun ajaran 2006-2007 mempunyai persentase
nilai kelulusan sebesar 93,00 persen dengan standar nilai lulus 5,00.
Selanjutnya pada 2007-2008 dengan persentase nilai kelulusan 91,32 persen
dengan standar nilai lulus 5,25.
Lalu, medio 2008-2009 presentase
nilai kelulusan sebesar 93,74 persen dengan standar nilai lulus sebesar 5,50.
Pada tahun ajaran 2009-2010 persentase nilai kelulusan sebesar 89,88 persen
(99,04 persen) dengan standar nilai lulus 5,50.
Sedangkan tahun ajaran 2010-2011
persentase nilai kelulusan 99,02 persen dengan standar nilai lulus 5,50. Pada
2011-2012 persentase nilai kelulusan 99,5 persen dengan standar nilai kelulusan
5,50. Kemudian pada 2012-2013 persentase nilai kelulusan 99,48 persen dengan
standar nilai kelulusan 5,50.
Terlihat selalu meningkat dari sisi
kuantitas. Namun, mengapa banyak desakan masyarakat yang meminta UN untuk
dihapuskan? Karena riilnya, banyak pihak yang ngos-ngosan bahkan
berdarah-darah untuk mencapainya dengan segala cara, baik yang halal maupun
curang.
Alat mencerdaskan kehidupan bangsa
sesuai UUD 1945 adalah jalur pendidikan. Nyatanya, kecerdasan hanya tersimpan
dalam otak anak-anak generasi saat ini. Karakter dan kompetensi mereka kurang
terbentuk optimal.
Hal itu terlihat dari kemunculan
generasi kurang tangguh di tengah persaingan global. Banyak sarjana menganggur,
belum menyadari apa keinginan dan minat mereka, karena selama ini disadari atau
tidak mereka telah dijadikan robot sistem pendidikan Indonesia.
Bila boleh membandingkan, Amerika
Serikat punya kultur budaya yang bisa ditiru. Masyarakatnya meyakini bahwa
pendidikan menjadi tugas bagi keluarga dan masyarakat. Maka, mereka tidak mau
kalau pendidikan diatur oleh pemerintah pusat, pemerintah negara bagian, maupun
pemerintah lokal sekalipun.
Masyarakat merasa memiliki hak yang
sangat kuat untuk menentukan sistem pendidikan seperti apa yang paling tepat.
Lantaran menyadari tantangan di setiap komunitas tidaklah sama, sehingga sistem
pendidikan tidak perlu disamakan antara satu kota dengan kota lain.
Intervensi pemerintah pusat
dilakukan pada 2001 melalui kebijakan No Child Left Behind atau tak membiarkan satupun anak tertinggal.
Kebijakan ini terkait dengan mutu atau kualitas anak didik.
Riilnya, diciptakan standar-standar
mutu hasil didik dan pelaksanaan ujian sekolah. Pemerintah pusat memerintahkan
pemerintah negara bagian untuk membuat standar pendidikan, membuat kurikulum,
membuat soal UN dan menyelenggarakannya.
Intervensi pemerintah pusat
dilakukan jika didapati kualitas pendidikan anak-anak SMA sangat menurun hingga
tidak meneruskan sekolah. Sebelum masuk perguruan tinggi atau bekerja mereka
juga dites, dan hanya 50 persen dari yang ikut tes lulus masuk perguruan tinggi
atau bekerja.
Karena AS menyadari akibatnya.
Yakni, akan banyak pengangguran atau bekerja di tempat yang dibayar murah.
Sehingga angka kemiskinan makin meningkat dan pendapatan negara semakin
berkurang.
Tumpuan nasib bangsa Indonesia
memang di UN. Sistem yang ‘galau’ penuh ketidakpastian tadi niscaya meluluskan
generasi serupa sistem tadi. Tentunya, sang sokoguru pendidikan Ki Hajar
Dewantara tidak rela melihat hasil perjuangannya diberantakkan oleh eksperimen
nasib dalam UN. Semoga
AlamaT : SMA N 1 Tugu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar