Powered By Blogger

Senin, 02 April 2012

MOMOK MENAKUTKAN UAN, Benarkah.....


PDF

Senin, 2 April 2012
Oleh Susilawati
Tiap tahun Ujian Nasional di Indonesia menjadi momok menakutkan bagi para guru dan siswa. Mereka (guru dan siswa) bertanya bagaimana caranya supaya semua siswa dapat lulus Ujian Nasional. Segala upaya dilakukan, mulai dari les privat, ikut bimbingan belajar, mengikuti try out berulang kali, belajar kelompok, dan belajar mandiri. Berdasarkan presentasi yang dikeluarkan kementerian pendidikan nasional, tingkat kelulusan SMA tahun 2011 mencapai 99, 2 %, sebuah pencapaian presentasi yang luar biasa.
Bahkan di Bali tahun ini, siswa yang tidak lulus hanya sepuluh. Hal tersebut, merupakan pencapaian yang membanggakan dan sekaligus patut dipertanyakan, benarkah demikian? Benarkah presentasi itu mencerminkan hasil yang sesungguhnya, yaitu lulus murni, tanpa manipulasi?
Dalam konteks Papua, rasanya sulit kita membayangkan bagaimana dalam kondisi fasilitas dan tenaga pendidik yang terbatas, para siswa diharapkan dapat lulus lebih dari 90 %. Saya menjadi paham, mengapa ketakutan ketidaklulusan begitu dirasakan oleh empat lapisan penting dalam masyarakat: pemerintah, sekolah, siswa, dan orangtua. Empat lapisan ini cenderung sepakat bahwa kelulusan menjadi target tunggal di banyak sekolah di tanah Papua. Target tunggal seperti ini sebetulnya dapat membahayakan hidup dan berkembangnya suatu sistem pembelajaran  yang baik. Target tunggal dapat berakibat kurangnya perhatian sekolah terhadap proses pendidikan itu sendiri. Saya sangat sedih melihat mutu pendidikan di tanah Papua ini, orang hanya dilatih untuk menjadi biasa melihat kebobrokan sistem pendidikan. Jam kosong, kegiatan indisipliner, manipulasi nilai, dan pembiaran siswa menjadi makanan sehari-hari di sekolah. Jika demikian, keberhasilan siswa hanya diukur dengan angka-angka yang sudah dimanipulatif.
Berapa angka-angka dalam raport siswa yang sudah dimanipulasi guna mengamankan 40 % syarat kelulusan? Angka 8 dan 9 saat ini banyak mewarnai nilai raport siswa/i kelas XII, khususnya di semester 3, 4, dan 5. Angka 8, dan 9 ini merupakan angka yang fantastis di zaman saya bersekolah tahun 1990-an.
Angka 8 dan 9 merupakan angka yang membanggakan jika merupakan hasil yang sesungguhnya. Akan tetapi kebanyakan angka-angka yang ditulis di raport mereka (8 dan 9) bukanlah cerminan sesungguhnya jatidiri mereka. Pendidikan manipulatif – hampir pasti -- akan melahirkan generasi yang manipulatif juga. Ya, tidak ada bangsa yang besar dibangun atas dasar kepalsuan. Jika budaya manipulatif sudah membiasa, jangan heran kalau kita nanti akan dipimpin oleh orang-orang yang juga jago memanipulasi keadaan. Akibatnya kehancuran tanah ini sudah berada di ambang pintu, sebab  tahun 2020 pasar bebas diterapkan di seluruh dunia sungguh terjadi. Lantas, di mana keberadaan anak-anak kita di tahun 2020? Jangan-jangan anak-anak kita hanya sebagai penjaga pabrik, atau barangkali mereka hanya menjadi penonton permainan dunia yang terjadi di wilayah sendiri.

Para pendidik yang baik, bangunlah mutu sekolah-sekolah kita. Proficiat dan selamat bagi sekolah-sekolah yang sudah menanamkan pentingnya kejujuran dalam dunia pendidikan! Untuk para siswa, rajinlah belajar! Kamulah yang sesungguhnya menulis raportmu. Hasil keringat studimulah yang seharusnya terpampang dalam raport dan ijasah kalian dan bukan “karena kemurahan-hatian guru-guru kalian”. Jika sekolah dapat menghasilkan sistem pendidikan yang baik, mulai dari SD dan SMP, maka bagi siswa/i SMA, Ujian Nasional bukan lagi menjadi momok yang menakutkan, tetapi menjadi berkat, Sebab anak-anak kita sendiri yang akan menentukan nilainya di raport dan ijasah sesuai dengan kemampuan mereka secara maksimal. Jika demikian guru-guru tidak lagi sibuk memanipulasi nilai raport atau bahkan membuat kunci jawaban Ujian Nasional bagi anak-anak didik mereka.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 22 tahun 2006, tanggal 23 Mei 2006, pada Bab I bagian Pendahuluan, dikatakan, “Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Dari kutipan Permendiknas tersebut, patutlah bertanya, kita mau buat apa dengan sekolah-sekolah di tanah Papua? Apakah kita membiarkan saja mutu pendidikan yang rendah di dalam masyarakat? Kita perlu merapatkan barisan untuk membangun sinergi bersama untuk memajukan pendidikan di Papua. Guru-guru yang sudah berjuang baik, terus tetap berjuang, sedangkan yang belum, hendaklah dengan kesadaran penuh mau memerbaiki mutu keguruannya.
Kita perlu menerapkan target ganda, yaitu pertama, memajukan sistem pedidikan dan kedua, menggapai hasil belajar yang maksimal berdasarkan kemampuan para siswa. Oleh karena itu, semoga tahun ajaran baru dan di masa-masa yang akan datang, kita sungguh memerhatikan proses pendidikan yang berlangsung di depan mata. Untuk para guru, sekiranya patut menumbuhkan kembali idealisme seorang guru untuk sungguh mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanah Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Sementara itu, untuk para siswa, tugas utama kalian adalah belajar, bukan main-main di jalan-jalan, merokok, mabuk, dan santai-santai saja. Ingat masa depan Papua ini ada di tangan Anda! Untuk kelas XII, jika Anda tidak lulus tahun ini, jangan pernah menyerah, bangkit, dan kobarkanlah kembali semangat untuk maju. Untuk siswa yang akan naik ke kelas XII, jika Anda tekun belajar, ditunjang guru-guru yang baik, dan fasilitas yang memadai, maka Ujian Nasional bukan lagi menjadi momok yang menakutkan, melainkan berkat untuk kita semua. Kapan semuanya itu terjadi? Pihak pemerintah, sekolah, siswa, dan orangtualah yang harus menjawabnya. Belum ada kata terlambat untuk kita memulai, maju terus pantang mundur! (Penulis adalah Guru SMA Negeri 1 Tugu dan pemerhati pendidikan, tinggal di Jawa Timur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar