Powered By Blogger

Jumat, 24 Agustus 2012

Merefleksikan Makna Idul Fitri


MEREFLEKSIKAN KEMBALI MAKNA IDUL FITRI         
Oleh
Susilawati

Berakhirnya Bulan Ramadhan umumnya dirayakan dengan kegiatan-kegiatan kesukariaan. Di sepuluh hari terakhir yang harusnya kita tingkatkan amalan ibadah, kita justru disibukan dengan mengunjungi pusat perbelanjaan. Kita membeli berbagai macam kebutuhan, baik makanan, pakaian, perabot rumah, dan lain sebagainya. Ironisnya, kebanyakan hal-hal yang kita beli itu kurang begitu bermanfaat, atau sekedar untuk pamer.
Selain boros dalam hal makanan, hari lebaran juga lebih banyak dihabiskan dengan mengunjungi tempat-tempat wisata. Akibatnya, dari awal sampai satu minggu di hari lebaran tempat wisata penuh sesak dengan kaum muslimin yang berwisata. Akibatnya, masjid dan mushola terlupakan kembali. Inilah bentuk kegagalan kita selama berpuasa.
Kenyataan ini menjadi sebuah ironisme yang sering kita lakukan saat Hari Raya Idul Fitri. Waktu-waktu yang membahagiakan itu tidak digunakan secara maksimal untuk sesuatu yang bermanfaat, tetapi justru untuk kegiatan sia-sia. Yang menjadi pertanyaan, apa yang harus kita lakukan di hari yang suci ini? Bagaimana cara menjaga agar puasa kita memberi makna dalam kehidupan?
Idul Fitri diartikan sebagai hari pembebasan, hari dimana kita disucikan kembali dari berbagai noda dan dosa yang telah dilakukan sebelumnya. Berakhirnya Bulan Ramadhan ibaratnya kita telah selesai bertapa. Seperti seekor ulat yang bertapa dalam kepompongnya, orang yang selesai melaksanakan puasa akan mengalami perubahan, baik fisik maupun mental. Seekor ulat sebelum menjadi kupu-kupu nampak menakutkan dan menjijikkan. Jalannya pelan, bentuknya mengerikan, makanannya dedaunan. Ulat yang menjijikan itu jika dipegang dapat menimbulkan iritasi atau gatal-gatal. Namun demikian, setelah selesai bertapa dalam kepompong, ia akan berubah menjadi kupu-kupu. Ia berubah menjadi seekor binatang yang indah dipandang, jalannya lebih ringan karena bisa terbang, makannya pun sari madu yang sangat nikmat dan menyehatkan.
Begitulah ibaratnya, orang yang berpuasa. Manusia yang telah selesai menunaikan ibadah puasa hendaknya menjadi manusia yang lebih menarik. Akhlaknya menjadi baik, tutur kata, dan perbuatannya menjadi indah. Pola makan dan gaya hidupnya berubah, terkendali dan teratur. Sehingga ia menjadi manusia yang diharapkan oleh Allah, yaitu bertakwa. Orang yang bertakwa adalah orang yang menarik dalam segala hal. Segala kata dan perbuatan jauh dari sifat permusuhan, tetapi mendatangkan kesejukan dan manfaat bagi kehidupan.
Jika lebaran kali ini kita masih menjalankan rutinitas yang tidak bermanfaat tentu kita belum bisa seperti kupu-kupu. Penggemblengan kita gagal karena tidak mencapai apa yang sesungguhnya diharapkkan. Puasa yang kita lakukan telah sia-sia karena tidak berpengaruh pada pola pikir dan tingkah laku kita.
Apa yang harus dilakukan seusai Bulan Ramadhan?
Pertama, mempererat tali silaturahmi. Wujud dari kuatnya ikatan emosional atau ikatan kekeluargaan adalah adanya komunikasi yang lancar. Hal ini juga dibuktikan dengan aktivitas saling mengunjungi. Kegiatan ini, di pedesaan masih sangat erat dan membudaya, tetapi untuk diperkotaan sudah sangat langka. Kegiatan saling mengunjungi akan mempererat ukhuah islamiah. Baik dengan saudara dalam arti hubungan darah, maupun dengan saudara sesama muslim. Aktivitas bersilaturahmi akan memberikan dampak yang sangat besar dalam kehidupan, karena dengan adanya persaudaraan yang kuat akan ada perasaan saling membutuhkan. Dengan demikian, kehidupan ini akan terasa indah dengan adanya persaudaraan.
Kedua, menjaga diri dari perbuatan yang sia-sia. Perbuatan sia-sia adalah perbuatan yang kurang mengandung manfaat. Kebiasaan berfoya-foya dengan makanan berlebihan adalah salah satu kebiasaan buruk yang sering dilakukan umat muslim saat lebaran. Saat lebaran tiba, berbagai makanan kita sediakan dengan jumlah yang sangat melimpah. Bukan hanya itu, kita pun sering membuang makanan yang terlalu banyak untuk dihabiskan. Kita lebih suka membuang makanan ketimbang memberikannya kepada orang lain yang membutuhkan. Padahal masih banyak saudara-saudara kita yang kesulitan mendapatkan makanan.
Selain berlebih-lebihan dalam hal makanan, kita juga sering berlomba-lomba dengan apa yang kita miliki dengan maksud pamer. Baju baru, perabot rumah, dan kendaraan yang mewah selalu kita bangga-banggakan. Dengan demikian adanya idul fitri justru kita jadikan sebagai ajang pamer kemegahan dan kekayaan. Hal ini tentu akan merusak amalan ibadah kita selama Bulan Ramadhan yang diharapkan akan mengurangi kebiasaan buruk tersebut.
Ketiga, perbanyak bersyukur kepada Allah. Bersyukur kepada Allah atas semua rezeki yang kita nikmati selama hidup adalah kewajiban kita. Apalagi dengan dipertemukannya kita dengan bulan ramadhan adalah anugrah yang luar biasa bagi umat muslim. Pada bulan inilah satu-satunya kesempatan bagi kita memperbanyak bekal bagi kehidupan kita. Pada bulan ini, Allah menganugrahkan berbagai kemudahan dan barokah yang berlimpah kepada umat manusia. Oleh karena itu, dengan bersyukur kepada Allah, maka Allah akan menambah segala nikmat yang kita terima.
Keempat, meningkatkan kinerja dan produktifitas. Pada saat puasa kita dilatih bersabar dan menyesuaikan diri. Dalam kondisi lapar kita diharapkan tetap beraktivitas seperti biasa, bahkan harus memperbanyak ibadah-ibadah sunnah. Oleh karena itu, seusai puasa, harapannya kebiasaan baik itu tetap terjaga dalam kehidupan kita. Jika saat lapar saja kita bisa banyak melakukan aktivitas yang super banyak, diluar puasa tentunya akan lebih banyak hal yang dapat kita lakukan.
Keempat hal itulah yang harus kita lakukan dalam mengarungi kehidupan setelah berpuasa. Adanya perubahan diri yang lebih baik dari sebelumnya adalah keharusan setiap muslim yang mencapai derajat takwa, yaitu seorang muslim yang lebih indah dari sebelumnya. Setelah berakhirnya puasa, kita akan menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada di dalam diri kita. Kita harus membakar sifat culas, curang, iri, dengki, sombong dan segala sifat setaniah yang ada di dalam diri kita. Semoga kita adalah bagian dari orang-orang yang dikategorikan berhasil dalam meraih tujuan puasa tersebut, yaitu menjadi orang yang lebih baik di bandingkan sebelum menjalankan ibadah puasa. Amin.....

Penulis adalah Guru SMA Negeri I Tugu Trenggalek
Alamat                  : susisusilawati83@rocketmail.com
Hp                          : 085234842721

Minggu, 12 Agustus 2012

Pendidikan Paripurna


PENDIDIKAN  YANG  PARIPURNA
oleh  : Susilawati
Satu dari sekian banyak persoalan besar ilmu pengetahuan saat ini adalah masih dipisahkannya sense spiritualitas dari ilmu pengetahuan, sehingga muncul semangat sekulerisme dari ilmu pengetahuan itu sendiri, maupun dalam prakteknya (empirisisme). Misalnya, tatkala seorang guru Biologi menceritakan perihal proses penciptaan manusia, sang guru hanya menciptakan proses biologisnya saja, tetapi tidak memasukkan aspek spiritual yang justru menentukan  dalam proses penciptaan makhluk tadi, yaitu berupa ketetapan bahwa Allah azza wa jalla  yang meniupkan ruh ke dalam tubuh sang bayi. Atau, sang guru tadi tidak mengaitkannya dengan penjelasan-penjelasan dalam Al-Qur’an lainnya yang menjelaskan hal yang sama, sehingga pengetahuan yang disampaikan sama sekali tidak memiliki ruh spiritualitas. Pentingnya ruh spiritualitas ini adalah agar sikap kritis manusia dapat dibimbing oleh wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah), bukan oleh logika semata, yang sering membiaskan dan hanya mengikuti hawa nafsu manusia. Begitu pula pada konteks pelajaran-pelajaran lain.
Terpadunya antara dua sisi tadi adalah penting mengingat sinergisme antara keduanya akan memberikan loncatan hasil yang luar biasa, baik pada tingkat empiris (hasil) maupun pada tingkat infra-struktur (pengembangan ke depan). Keilmuan yang dikembangkan pada basis ruh Islam adalah keilmuan yang berkembang pada jalur yang benar, sehingga proses perkembangan dan hasil berkembangnya pun akan membawa manfaat, rahmat dan hikmah yang sangat besar dan positif bagi manusia dan peradabannya.
Pengetahuan yang paripurna dapat disampaikan melalui sistem pendidikan yang paripurna pula. Sistem pendidikan yang paripurna, insya Allah, akan memproduksi individu-individu manusia yang berkualitas (terdidik dan terimani), yang pada gilirannya akan membentuk komunitas-komunitas sosial yang madani,  lalu suatu kebudayaan sosial yang beradab (civilized)  serta akhirnya suatu peradaban yang luhur (high civilization).
Persoalan pendidikan merupakan suatu persoalan besar yang dapat menentukan arah perubahan hidup seseorang. Apakah itu perubahan berupa karir, penghasilan, status sosial, gaya hidup atau kualitas hidup seseorang.
Persoalan ini kemudian bertambah semakin penting sehubungan dengan arah zaman yang menuju era perdagangan dan persaingan bebas, yang banyak digambarkan oleh banyak pihak, sebagai era persaingan yang liberal, di mana tidak akan terdapat batas-batas negara, tarif maupun non-tarif. Persaingan diyakini akan semakin keras, keberhasilan akan ditentukan tidak hanya oleh kemampuan modal (wealth), melainkan pula oleh kemampuan mengolahnya, yang ini berarti pengetahuan dan seni pengelolaan. Pemaknaan pengelolaan (management) di sini tidak identik hanya pada nuansa industri bisnis seperti industri manufaktur semata, melainkan pula pada bidang-bidang lain yang secara substansial berkait dengan pengembangan dan peningkatan kualitas suatu produk atau juga sumber daya manusia, termasuk pula pada sistem-sistem pendidikan dalam dunia pendidikan formal akan turut bersaing pada masa ini. Lembaga-lembaga pendidikan internasional yang terkenal seperti National University of Singapore (NUS), Chulalongkorn University, Nanyang Technological University (NTU), University of the Philippines, Thammasat University dan lain sebagainya akan menawarkan sistem-sistem pembelajarannya, terutama yang bersifat keilmuan umum, pada suatu metode pengajaran yang lepas dari wacana-wacana spiritualitas. Proses-proses pendidikan akan berlangsung dan menggenerasi ilmuwan dan profesional dalam bidangnya yang lepas dari ruh Islam (yaitu yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah). Para pakar ekonomi, ilmu alam dan eksakta, politik, komputer dan lain sebagainya yang dihasilkan dari lembaga-lembaga pendidikan tadi –insya Allah- tidak akan memberikan pemahaman bagaimana sebenarnya hubungan ekonomi, ilmu alam dan eksakta, politik, komputer dan ilmu-ilmu lainnya dengan ruh Islam itu sendiri ;  serta bagaimana menjadikan ruh Islam itu sebagai substansi penggerak pengembangan keilmuan (aspek kognitif), substansi pewujudan spirit keilmuan yang Islami (aspek afektif), dan pewujudannya dalam tata kehidupan sosial yang ada baik di tingkat individu, rumah tangga, komunitas lokal, sosial, nasional, regional dan global.
Dapat dibayangkan yang berkembang bila kecenderungan ini yang terjadi,  adalah suatu realitas sekuler dalam banyak bidang kehidupan, mungkin akan sangat banyak bisa dihasilkan orang-orang terdidik pada era bebas nanti, namun terdidik yang tidak berhati dan berpikiran Islami, sehingga menghasilkan gerak yang tidak Islami pula. Orang-orang seperti ini akan sulit membedakan antara kemajuan zaman yang berlangsung sebagai kemajuan zaman yang Islami atau jahiliyah. Akan semakin banyak orang-orang pintar sekuler (pakar dan ilmuwan) yang tidak sama sekali bisa baca tulis Al-Qur’an dan tidak ada kedekatan hatinya pada Islam (hijrah), mencari justifikasinya dari Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, bukan metode sebaliknya, yaitu  memiliki basis agama dulu yang cukup, dan kemudian mengembangkannya dalam wacana kehidupan sosial dalam arti yang luas, sembari tetap selalu mereferensi pada Al-Qur’an dan Sunnah dalam setiap perkembangannya.
Perlunya pendidikan yang paripurna (terdidik  secara konseptual dan keahlian  dan terimani, secara lisan, pikiran, hati dan perbuatan) dalam memasuki era persaingan bebas nanti, yang sesungguhnya juga sebagian dari era tersebut telah dimasuki oleh bangsa ini, menjadi sangat penting bagi menentukan apa, siapa dan bagaimana bangsa Indonesia dalam dekade-dekade mendatang.
        “Demikian itu sebabnya, Allah sekali-kali tidak akan  mengubah nasib suatu kaum, kecuali jika kaum itu sendiri  yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah  maha mendengar lagi maha mengetahui “ (QS. Al-Anfal : 53).
Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Penulis adalah Guru SMA Negeri 1Tugu Trenggalek
Hp                           : 085234842721