PENDIDIKAN
YANG PARIPURNA
oleh : Susilawati

Satu dari sekian banyak
persoalan besar ilmu pengetahuan saat ini adalah masih dipisahkannya sense
spiritualitas dari ilmu pengetahuan, sehingga muncul semangat sekulerisme dari
ilmu pengetahuan itu sendiri, maupun dalam prakteknya (empirisisme). Misalnya,
tatkala seorang guru Biologi menceritakan perihal proses penciptaan manusia,
sang guru hanya menciptakan proses biologisnya saja, tetapi tidak memasukkan
aspek spiritual yang justru menentukan
dalam proses penciptaan makhluk tadi, yaitu berupa ketetapan bahwa Allah
azza wa jalla yang meniupkan ruh ke
dalam tubuh sang bayi. Atau, sang guru tadi tidak mengaitkannya dengan
penjelasan-penjelasan dalam Al-Qur’an lainnya yang menjelaskan hal yang sama,
sehingga pengetahuan yang disampaikan sama sekali tidak memiliki ruh
spiritualitas. Pentingnya ruh spiritualitas ini adalah agar sikap kritis
manusia dapat dibimbing oleh wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah), bukan oleh logika
semata, yang sering membiaskan dan hanya mengikuti hawa nafsu manusia. Begitu
pula pada konteks pelajaran-pelajaran lain.
Terpadunya antara dua sisi
tadi adalah penting mengingat sinergisme antara keduanya akan memberikan
loncatan hasil yang luar biasa, baik pada tingkat empiris (hasil) maupun pada tingkat
infra-struktur (pengembangan ke depan). Keilmuan yang dikembangkan pada basis
ruh Islam adalah keilmuan yang berkembang pada jalur yang benar, sehingga
proses perkembangan dan hasil berkembangnya pun akan membawa manfaat, rahmat
dan hikmah yang sangat besar dan positif bagi manusia dan peradabannya.
Pengetahuan yang paripurna
dapat disampaikan melalui sistem pendidikan yang paripurna pula. Sistem
pendidikan yang paripurna, insya Allah, akan memproduksi individu-individu
manusia yang berkualitas (terdidik dan terimani), yang pada gilirannya akan
membentuk komunitas-komunitas sosial yang madani, lalu suatu kebudayaan sosial yang beradab
(civilized) serta akhirnya suatu peradaban
yang luhur (high civilization).
Persoalan pendidikan merupakan
suatu persoalan besar yang dapat menentukan arah perubahan hidup seseorang.
Apakah itu perubahan berupa karir, penghasilan, status sosial, gaya hidup atau
kualitas hidup seseorang.
Persoalan ini kemudian
bertambah semakin penting sehubungan dengan arah zaman yang menuju era
perdagangan dan persaingan bebas, yang banyak digambarkan oleh banyak pihak,
sebagai era persaingan yang liberal, di mana tidak akan terdapat batas-batas
negara, tarif maupun non-tarif. Persaingan diyakini akan semakin keras,
keberhasilan akan ditentukan tidak hanya oleh kemampuan modal (wealth),
melainkan pula oleh kemampuan mengolahnya, yang ini berarti pengetahuan dan
seni pengelolaan. Pemaknaan pengelolaan (management) di sini tidak identik
hanya pada nuansa industri bisnis seperti industri manufaktur semata, melainkan
pula pada bidang-bidang lain yang secara substansial berkait dengan
pengembangan dan peningkatan kualitas suatu produk atau juga sumber daya
manusia, termasuk pula pada sistem-sistem pendidikan dalam dunia pendidikan
formal akan turut bersaing pada masa ini. Lembaga-lembaga pendidikan
internasional yang terkenal seperti National University of Singapore (NUS),
Chulalongkorn University, Nanyang Technological University (NTU), University of
the Philippines, Thammasat University dan lain sebagainya akan menawarkan
sistem-sistem pembelajarannya, terutama yang bersifat keilmuan umum, pada suatu
metode pengajaran yang lepas dari wacana-wacana spiritualitas. Proses-proses
pendidikan akan berlangsung dan menggenerasi ilmuwan dan profesional dalam
bidangnya yang lepas dari ruh Islam (yaitu yang berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunnah). Para pakar ekonomi, ilmu alam dan eksakta, politik, komputer dan lain
sebagainya yang dihasilkan dari lembaga-lembaga pendidikan tadi –insya Allah-
tidak akan memberikan pemahaman bagaimana sebenarnya hubungan ekonomi, ilmu
alam dan eksakta, politik, komputer dan ilmu-ilmu lainnya dengan ruh Islam itu
sendiri ; serta bagaimana menjadikan ruh
Islam itu sebagai substansi penggerak pengembangan keilmuan (aspek kognitif),
substansi pewujudan spirit keilmuan yang Islami (aspek afektif), dan
pewujudannya dalam tata kehidupan sosial yang ada baik di tingkat individu,
rumah tangga, komunitas lokal, sosial, nasional, regional dan global.
Dapat dibayangkan yang
berkembang bila kecenderungan ini yang terjadi,
adalah suatu realitas sekuler dalam banyak bidang kehidupan, mungkin
akan sangat banyak bisa dihasilkan orang-orang terdidik pada era bebas nanti,
namun terdidik yang tidak berhati dan berpikiran Islami, sehingga menghasilkan
gerak yang tidak Islami pula. Orang-orang seperti ini akan sulit membedakan
antara kemajuan zaman yang berlangsung sebagai kemajuan zaman yang Islami atau
jahiliyah. Akan semakin banyak orang-orang pintar sekuler (pakar dan ilmuwan)
yang tidak sama sekali bisa baca tulis Al-Qur’an dan tidak ada kedekatan
hatinya pada Islam (hijrah), mencari justifikasinya dari Al-Qur’an dan hadits
Nabi SAW, bukan metode sebaliknya, yaitu
memiliki basis agama dulu yang cukup, dan kemudian mengembangkannya
dalam wacana kehidupan sosial dalam arti yang luas, sembari tetap selalu
mereferensi pada Al-Qur’an dan Sunnah dalam setiap perkembangannya.
Perlunya pendidikan yang
paripurna (terdidik secara konseptual
dan keahlian dan terimani, secara lisan,
pikiran, hati dan perbuatan) dalam memasuki era persaingan bebas nanti, yang
sesungguhnya juga sebagian dari era tersebut telah dimasuki oleh bangsa ini,
menjadi sangat penting bagi menentukan apa, siapa dan bagaimana bangsa
Indonesia dalam dekade-dekade mendatang.
“Demikian itu sebabnya, Allah sekali-kali tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali jika kaum
itu sendiri yang mengubahnya.
Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi
maha mengetahui “ (QS. Al-Anfal : 53).
Wassalamu'alaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Penulis adalah Guru SMA Negeri 1Tugu
Trenggalek
E mail : susisusilawati83@rocketmail.com
Hp :
085234842721
become a good educator
BalasHapus