Powered By Blogger

Minggu, 12 Agustus 2012

Pendidikan Paripurna


PENDIDIKAN  YANG  PARIPURNA
oleh  : Susilawati
Satu dari sekian banyak persoalan besar ilmu pengetahuan saat ini adalah masih dipisahkannya sense spiritualitas dari ilmu pengetahuan, sehingga muncul semangat sekulerisme dari ilmu pengetahuan itu sendiri, maupun dalam prakteknya (empirisisme). Misalnya, tatkala seorang guru Biologi menceritakan perihal proses penciptaan manusia, sang guru hanya menciptakan proses biologisnya saja, tetapi tidak memasukkan aspek spiritual yang justru menentukan  dalam proses penciptaan makhluk tadi, yaitu berupa ketetapan bahwa Allah azza wa jalla  yang meniupkan ruh ke dalam tubuh sang bayi. Atau, sang guru tadi tidak mengaitkannya dengan penjelasan-penjelasan dalam Al-Qur’an lainnya yang menjelaskan hal yang sama, sehingga pengetahuan yang disampaikan sama sekali tidak memiliki ruh spiritualitas. Pentingnya ruh spiritualitas ini adalah agar sikap kritis manusia dapat dibimbing oleh wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah), bukan oleh logika semata, yang sering membiaskan dan hanya mengikuti hawa nafsu manusia. Begitu pula pada konteks pelajaran-pelajaran lain.
Terpadunya antara dua sisi tadi adalah penting mengingat sinergisme antara keduanya akan memberikan loncatan hasil yang luar biasa, baik pada tingkat empiris (hasil) maupun pada tingkat infra-struktur (pengembangan ke depan). Keilmuan yang dikembangkan pada basis ruh Islam adalah keilmuan yang berkembang pada jalur yang benar, sehingga proses perkembangan dan hasil berkembangnya pun akan membawa manfaat, rahmat dan hikmah yang sangat besar dan positif bagi manusia dan peradabannya.
Pengetahuan yang paripurna dapat disampaikan melalui sistem pendidikan yang paripurna pula. Sistem pendidikan yang paripurna, insya Allah, akan memproduksi individu-individu manusia yang berkualitas (terdidik dan terimani), yang pada gilirannya akan membentuk komunitas-komunitas sosial yang madani,  lalu suatu kebudayaan sosial yang beradab (civilized)  serta akhirnya suatu peradaban yang luhur (high civilization).
Persoalan pendidikan merupakan suatu persoalan besar yang dapat menentukan arah perubahan hidup seseorang. Apakah itu perubahan berupa karir, penghasilan, status sosial, gaya hidup atau kualitas hidup seseorang.
Persoalan ini kemudian bertambah semakin penting sehubungan dengan arah zaman yang menuju era perdagangan dan persaingan bebas, yang banyak digambarkan oleh banyak pihak, sebagai era persaingan yang liberal, di mana tidak akan terdapat batas-batas negara, tarif maupun non-tarif. Persaingan diyakini akan semakin keras, keberhasilan akan ditentukan tidak hanya oleh kemampuan modal (wealth), melainkan pula oleh kemampuan mengolahnya, yang ini berarti pengetahuan dan seni pengelolaan. Pemaknaan pengelolaan (management) di sini tidak identik hanya pada nuansa industri bisnis seperti industri manufaktur semata, melainkan pula pada bidang-bidang lain yang secara substansial berkait dengan pengembangan dan peningkatan kualitas suatu produk atau juga sumber daya manusia, termasuk pula pada sistem-sistem pendidikan dalam dunia pendidikan formal akan turut bersaing pada masa ini. Lembaga-lembaga pendidikan internasional yang terkenal seperti National University of Singapore (NUS), Chulalongkorn University, Nanyang Technological University (NTU), University of the Philippines, Thammasat University dan lain sebagainya akan menawarkan sistem-sistem pembelajarannya, terutama yang bersifat keilmuan umum, pada suatu metode pengajaran yang lepas dari wacana-wacana spiritualitas. Proses-proses pendidikan akan berlangsung dan menggenerasi ilmuwan dan profesional dalam bidangnya yang lepas dari ruh Islam (yaitu yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah). Para pakar ekonomi, ilmu alam dan eksakta, politik, komputer dan lain sebagainya yang dihasilkan dari lembaga-lembaga pendidikan tadi –insya Allah- tidak akan memberikan pemahaman bagaimana sebenarnya hubungan ekonomi, ilmu alam dan eksakta, politik, komputer dan ilmu-ilmu lainnya dengan ruh Islam itu sendiri ;  serta bagaimana menjadikan ruh Islam itu sebagai substansi penggerak pengembangan keilmuan (aspek kognitif), substansi pewujudan spirit keilmuan yang Islami (aspek afektif), dan pewujudannya dalam tata kehidupan sosial yang ada baik di tingkat individu, rumah tangga, komunitas lokal, sosial, nasional, regional dan global.
Dapat dibayangkan yang berkembang bila kecenderungan ini yang terjadi,  adalah suatu realitas sekuler dalam banyak bidang kehidupan, mungkin akan sangat banyak bisa dihasilkan orang-orang terdidik pada era bebas nanti, namun terdidik yang tidak berhati dan berpikiran Islami, sehingga menghasilkan gerak yang tidak Islami pula. Orang-orang seperti ini akan sulit membedakan antara kemajuan zaman yang berlangsung sebagai kemajuan zaman yang Islami atau jahiliyah. Akan semakin banyak orang-orang pintar sekuler (pakar dan ilmuwan) yang tidak sama sekali bisa baca tulis Al-Qur’an dan tidak ada kedekatan hatinya pada Islam (hijrah), mencari justifikasinya dari Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, bukan metode sebaliknya, yaitu  memiliki basis agama dulu yang cukup, dan kemudian mengembangkannya dalam wacana kehidupan sosial dalam arti yang luas, sembari tetap selalu mereferensi pada Al-Qur’an dan Sunnah dalam setiap perkembangannya.
Perlunya pendidikan yang paripurna (terdidik  secara konseptual dan keahlian  dan terimani, secara lisan, pikiran, hati dan perbuatan) dalam memasuki era persaingan bebas nanti, yang sesungguhnya juga sebagian dari era tersebut telah dimasuki oleh bangsa ini, menjadi sangat penting bagi menentukan apa, siapa dan bagaimana bangsa Indonesia dalam dekade-dekade mendatang.
        “Demikian itu sebabnya, Allah sekali-kali tidak akan  mengubah nasib suatu kaum, kecuali jika kaum itu sendiri  yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah  maha mendengar lagi maha mengetahui “ (QS. Al-Anfal : 53).
Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Penulis adalah Guru SMA Negeri 1Tugu Trenggalek
Hp                           : 085234842721

1 komentar: