BENARKAH UJIAN NASIONAL AKAN MEMAJUKAN
PENDIDIKAN NASIONAL

Oleh : Susilawati
Harap-harap cemas, takut, pesimis
itulah perasaan peserta didik dalam menanti hasil ujian nasional (UN). Bukan
hanya peserta didik saja, tetapi para guru, kepala sekolah,orang tua murid, dan
pihak yang terkait pun demikian. Perasaan itu karena hasil UN sangat
berpengaruh pada jenjang berikutnya, seperti dari SD ke SMP, SMA
dan perguruan tinggi.
Hasil UN juga menjadi gambaran
kinerja para guru dan kepala sekolah. Profesional guru dan kepala sekolah
menjadi pertaruhannya. Sekolah-sekolah mendudukan prestasi UN sebagai ajang
pertarungan reputasinya bagi masyarakat, dinas pendidikan dan pemerintah
daerah. Selain itu, hasil UN menjadi indikator mutu pendidikan di tanah air
kita. Namun, pernahkah kita berintrospeksi atas eksistensi UN? Jika UN
tetap dipertahankan, kita akan bertanya-tanya ke manakah arah pendidikan di
tanah air ini? Umpan balik dari UN selama ini tidak memberikan kontribusi yang
handal, cerah ke arah peningkatan mutu pendidikan yang signifikan dan
komprehensif. Bahkan justru UN mematikan roh pendidikan kita. Tidak
sedikit dampak negatif dalam pendidikan kita. Dalam realitas,UN hanya
mengaburkan proses pembelajaran, peserta didik, dan pendidik itu sendiri. Dalam
Proses Pembelajaran Dalam proses pembelajaran, peserta didik hanya menjalani
latihan soal. Selama di kelas terakhir peserta didik dibekali dengan prediksi,
bayangan soal-soal, cara cepat dan tepat menjawab.
Tidak cukup waktu di dalam kelas,
peserta didik harus mengikuti bimbingan belajar baik di sekolah maupun
luar sekolah. Selain itu, ada juga peserta didik mengikuti les privat. Setelah
menempuh cara-cara belajar yang demikian, peserta didik mengikuti try out.
Bahkan sekolah mengadakan try out beberapa kali. Alhasil, bukannya meningkat malah
semakin menurun, hanya beberapa peserta didik yang siap. Proses pembelajaran
lebih berkonsentrasi dan berorientasi pada UN. Pembelajaran dikondisikan
bergaya instant, karbit, tanpa cara berpikir yang benar, dan nilai-nilai hidup.
Cara ini menciptakan peserta didik untuk bersikap curang. Bahkan guru, kepala sekolah
dan pihak terkait pun ikut curang. Demi mencapai target angka lulus kita mendengar
ada yang menyontek, boncoran jawaban, dan sikap tidak jujur pun tetap ditempuh.
Pelaksanaannya hanya mendatangkan ‘sakit’ bagi peserta didik dan guru.
Secara fisik peserta didik mulai
sakit seperti flu, demam dan pusing. Secara psikis siswa dan guru pun merasa
takut, grogi dan stres. Sangat disayangkan, peserta didik dalam
proses pembelajaran sampai dengan evaluasi harus
‘menderita’ baik fisik maupun psikis.
Inikah cara kita meningkatkan mutu
pendidikan? Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) mengisyaratkan model
pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran berpusat pada peserta didik.
Pendidik sebagai fasilitator dan motivator, sehingga peserta didik menjadi
inisiatif, aktif, kreatif, dan inovatif. Maka proses pembelajaran dan
penilaian harus integral. Model penilaian harus bertolak dari proses
pembelajaran. Jika proses pembelajaran dengan fasilitas, sarana prasarana
yangsangat terbatas di setiap daerah, sumber daya manusia (SDM) guru yang
berbeda,kemampuan peserta didik yang heterogen, kita perlu berpikir lagi
tentang UN. Karena UN hanya menetapkan standar nilai yang harus dicapai siswa.
Apalagi soal-soal UN sangat terbatas (limitative), sehingga tidak terakomodasi
kemampuan peserta didik yang komperhensif. Bahkan UN kurang adil karena membuat
dikotomi terhadap mata pelajaran yang dipelajari peserta didik. Ada
sejumlah mata pelajaran, tetapi yang diujikan hanya beberapa saja. Maka
sebenarnya UN mengabaikan disparitas kondisi ditiap daerah. Standar bukan soal
nilai-angka target UN melainkan fasilitas, sarana prasarana dan SDM
guru-guru yang berkualitas. Dalam kelas pendidik tidak lagi mengikuti
rambu-rambu dalam KTSP. Semuanya itu karena tuntutan UN lain. Demi UN, pendidik
melaksanakan pembelajaran dengan model latihan dan membahas soal-soal baik dari
buku teks, LKS ataupun soal-soal UN yang silam. Bahkan pembelajaran hanya
terfokus pada kisi-kisi materi UN. Tidak heran pembelajaran sangat monoton
dan membosankan peserta didik. Bentuk pembelajaran seperti itu hanya menurunkan
kredibilitas pendidik, sehingga peran ini ‘tergantikan’. Masyarakat mulai
membuka praktik ‘bimbingan belajar’ bagi peserta didik untuk menghadapi
UN. Akhirnya, peserta didik lebih mengandalkan bimbingan belajar daripada
pembelajaran di dalam kelas lagi. Di sisi lain, kredibilitas pendidik semakin
diragukan manakala pemerintah melibatkan pihak-pihak lain untuk
mengawas-memantau pendidik dalam pelaksanaan UN. Pihak pemantau
independen dari perguruan tinggi, kepolisian, dinas pendidikan
secara bersama mulai memantau kerja pendidik dalam UN.
Akibatnya pendidik pun merasa takut,
grogi dan tidak bebas lagi dalam bertugas. Hasil pekerjaan siswa tidak
dikoreksi guru, tetapi komputer. Harus diakui computer pun tetap ada
kekurangannya. Hasil koreksinya tidak pernah dikembalikan kepada siswa atau
guru. Mereka hanya mendapat nilai di atas kertas. Apa motif semuanya ini? Yang
jelas pendidik sudah mulai kehilangan wibawa dan kredibilitasnya. Jika sistem
pendidikan dan pengajaran kita seperti ini, benarkah UN itu meningkatkan mutu
pendidikan? Pembelajaran di sekolah dan sistem pendidikan yang berlaku sangat
kontradiksi. Pendidikan kita tidak lagi konsisten dan komitmen dalam
pembelajaran dan penilaian (evaluasi), bagaimana mungkin UN menjadi tolak ukur
mutu pendidikan? Dampak bagi Sekolah UN memberi dampak bagi sekolah secara
positif dan negatif. Jika persentase kelulusan UN mencapai 100%, sekolah itu
bermutu. Reputasinya baik dan dipercayai masyarakat.Orang tua akan antrean
mendaftarkan anaknya. Sekolah tersebut akan mendapat peserta didik yang
terselesksi (bibit unggul). Sebaliknya, jika persentase kelulusan tidak mencapai
100% sekolah itu tidak bermutu. Masyarakat kurang percaya lagi pada sekolah
tersebut. Maka orang tua pun ragu-ragu menyekolahkan anaknya. Apalagi dalam
pelaksanakan UN terendus sekolah itu curang (tidak jujur) kepala sekolah siap diganti
atau pindah dan sebagainya. Benarkah mutu pendidikan sekolah hanya diukur
dengan hasil UN? Masih banyak unsur yang harus dicermati lagi. Aspek
kemampuan peserta didiknya, keprofesionalan pendidik, penerapan kurikulum
dan model pembelajaran, sarana dan prasaran pendukung, dana dan sebagainya
perlu ditinjau lagi. Pendidikan tidak mengejar target nilai atau angka yang
distandarkan supaya lulus, tetapi membantu peserta didik dalam kehidupannya.
Itulah tugas esensial dan roh pendidikan di sekolah. Sebab kalau tidak
disiapkan dengan baik, peserta didik tidak mampu bersaing yang pada
akhirnya menambah pengangguran dalam masyarakat.
Selain itu, peserta didik akan
kehilangan identitas dirinya, budaya bangsanya karena nilai-nilai kemanusiaannya
terabaikan.Perbaiki Mutu Pendidikan Usaha memperbaiki mutu pendidikan di tanah
air ini bukan semata-mata dengan mengadakan UN. Usaha itu sangat tidak
substansial. Yang patut diperhatikan bersama, yakni kita harus konsisten dan
komitmen atas kurikulum, kebijakan, dan sistem pendidikan. Jika itu rancu
dan ambivalen, pendidikan kita tetap terpuruk dan tidak mampu bersaing
dalam percaturan global dan modern ini.Untuk itu, perlu revitalisasi dan
restrukturisasi UN dalam pendidikan kita. PelaksanaanUN harus ditinjau kembali.
Selain itu, perlu adanya perubahan paradigma bahwa UN bukanlah cermin mutu
pendidikan. Bebaskan UN dari berbagai kepentingan dalam pendidikan.
Karena UN tidak ‘adil’, ia telah mengikis nilai-nilai pendidikan.
Untuk memperbaiki mutu pendidikan, konsentrasi dan orientasi kita bukan
pada UN, tetapi lebih pada pendidik, peserta didik, fasilitas, sarana dan
prasarana serta dana yang cukup.Perhatian berikutnya, yaitu pendidik. Karena
guru merupakan garda terdepan pendidikan formal. Kita mempunyai kurikulum yang
bagus, sarana dan prasarana yang lengkap,dana yang cukup, tetapi pendidik tidak
profesional tetap nihil. Kita membutuhkan figur pendidik bukan hanya
profesional, tetapi mempunyai hati untuk mendidik dan mengajar. Maka perlu pemberdayaan sang guru dalam tugas
pendidikan dan pengajaran.Pengembangan diri sang guru menjadi profesional,
sehingga menjadi kritis, kreatif,inovatif, dan kompatibel menghadapi tantangan
zaman ini. Selain itu, guru juga dibekali dengan nilai-nilai hidup, sehingga
ditularkan kepada peserta didiknya. Dalam bertugas,guru harus otonomi tanpa
intimidasi dari berbagai pihak demi kepentingan tertentu. Akhirnya, perlu ada
perubahan paradigma tentang UN. UN bukan untuk menentukan mutu pendidikan,
tetapi lebih sebagai umpan balik dalam proses pembelajaran.Kehadiran UN bukan
menakutkan dan beban bagi semua pihak. Dengan demikian, praktik kecurangan
dan intimidasi antar berbagai pihak tidak terjadi lagi. Di samping itu,sistem
dan kebijakan pemerintah harus konsisten dengan kurikulum, sarana
prasarana, pendidik, peserta didik, dan dana yang diperlukan. Dengan
memperhatikan semua aspek tersebut, pelaksanaan UN dimaksudkan lebih
memotivasi dan memacu semua sekolah untuk berkompetisi secara sehat, sehingga
mendapat gambaran perkembangan pendidikan di tanah air ini secara valid.
Semoga......
Penulis adalah Guru SMAN 1 Tugu
Email :
susisusilawati38@rocketmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar